Ahli Ungkap Alasan Psikologis Warga Lakukan Panic Buying
A
A
A
JAKARTA - Pandemi COVID-19 membuat geger warga dunia sehingga banyak yang melakukan panic buying guna menimbun barang kebutuhan. Tak hanya di Indonesia, di mancanegara pun fenomena yan sama terjadi. Di mata seorang human behavior expert, tindakan warga tersebut dianggap beralasan karena ada latar psikologis yang mendasarinya.
Setelah beberapa negara ambil ancang-ancang untuk menerapkan kebijakan lockdown demi mencegah penyebaran COVID-19, supermarket di banyak lokasi langsung diserbu pembeli. Mereka memborong banyak makanan dan kebutuhan dasar lain. Sampai-sampai ketika rak-rak di supermarket sudah kosong, orang-orang rela mengambil apa saja yang bisa dibawa pulang.
Pengelola toko maupun pemerintah sudah meminta warga tak melakukan hal itu, tapi semua anjuran seperti dianggap angin lalu. Bahkan di negara maju sekalipun, antrean warga di supermarket tampak mengular hingga ke jalan. Barang seperti tisu toilet dan diaper diborong untuk stok di rumah.
Menurut Dr. Ali Fenwick, human behavior expert dari Nyenrode Business University, Belanda, perilaku panic buying terjadi ketika survival mode di otak manusia menampik semua keputusan rasional. Ada empat alasan utama yang membuat orang merasa perlu menyetok barang dalam situasi seperti ini. Ulasannya sebagai berikut.
1. Survival mode.
Dalam situasi tak menentukan atau menakutkan, pemikiran paling sederhana di otak bakal lebih mendominasi, yaitu bagaimana bertahan hidup. Hal ini yang menekan pemikiran rasional manusia. Sehingga, meskipun pemerintah berjanji tak akan membiarkan distribusi makanan terganggu, tetap saja warga tak mendengar.
Kebanyakan orang belum pernah mengalami krisis kesehatan seperti yang terjadi saat ini. Jadi, mereka memilih menimbun makanan daripada nanti kelaparan.
2. Efek kelangkaan.
Kelangkaan atas produk tertentu membuat orang berasumsi bahwa produk tersebut paling penting. Artinya, mereka bersedia membayar berapapun demi mendapatkan produk langka itu. Keadaan ini memaksa seseorang membeli barang yang sebenarnya tidak diinginkan, tapi dia pikir itulah yang lebih berguna.
Hal ini dapat menjelaskan alasan mengapa banyak orang memburu yang namanya masker, hand sanitizer, atau kalau di luar negeri tisu toliet. Sampai-sampai mereka rela mencuri barang-barang tersebut dari keranjang belanja orang lain, padahal di rumah masih punya stok.
3. Perilaku yang dipengaruhi sekelompok orang.
Dr. Fenwick menjelaskan, ketika seseorang melihat tetangga atau teman-temannya menimbun barang tertentu di rumah, hal itu akan memicu dia untuk berbuat hal serupa. Padahal, belum tentu ia membutuhkan barang tersebut.
Semua hal jadi terasa tak menentu saat ini, dengan adanya isolasi sosial dan banyak negara menutup perbatasan, sehingga mendorong seseorang melakukan hal yang juga dilakukan orang lain, meski tahu itu tidak dibenarkan.
4. Kepekaan kontrol.
Dalam situasi yang tak menentu, seseorang akan merasa tenang saat merasa mampu mengatasi sesuatu. Terkait dengan fenomena panic buying, seseorang itu tentu akan merasa tenang saat bisa memborong belanjaan seperti halnya orang lain. Sebab, dengan begitu dia tahu bahwa ketika situasi semakin memburuk, ia tetap bisa memberi makan keluarganya.
"Kesimpulannya, memborong banyak barang disebabkan oleh tanda-tanda psikologi dan lingkungan yang bervariasi, yang menampik segala pemikiran rasional," kata Fenwick, seperti dikutip dari laman Insider.com.
"Saat "survival mode" menyala, orang akan membiarkan emosi mengontrol keputusannya dan rentan dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Jadi, dia akan berburu serta membeli banyak barang karena orang lain pun melakukan hal itu," pungkas Fenwick.
Setelah beberapa negara ambil ancang-ancang untuk menerapkan kebijakan lockdown demi mencegah penyebaran COVID-19, supermarket di banyak lokasi langsung diserbu pembeli. Mereka memborong banyak makanan dan kebutuhan dasar lain. Sampai-sampai ketika rak-rak di supermarket sudah kosong, orang-orang rela mengambil apa saja yang bisa dibawa pulang.
Pengelola toko maupun pemerintah sudah meminta warga tak melakukan hal itu, tapi semua anjuran seperti dianggap angin lalu. Bahkan di negara maju sekalipun, antrean warga di supermarket tampak mengular hingga ke jalan. Barang seperti tisu toilet dan diaper diborong untuk stok di rumah.
Menurut Dr. Ali Fenwick, human behavior expert dari Nyenrode Business University, Belanda, perilaku panic buying terjadi ketika survival mode di otak manusia menampik semua keputusan rasional. Ada empat alasan utama yang membuat orang merasa perlu menyetok barang dalam situasi seperti ini. Ulasannya sebagai berikut.
1. Survival mode.
Dalam situasi tak menentukan atau menakutkan, pemikiran paling sederhana di otak bakal lebih mendominasi, yaitu bagaimana bertahan hidup. Hal ini yang menekan pemikiran rasional manusia. Sehingga, meskipun pemerintah berjanji tak akan membiarkan distribusi makanan terganggu, tetap saja warga tak mendengar.
Kebanyakan orang belum pernah mengalami krisis kesehatan seperti yang terjadi saat ini. Jadi, mereka memilih menimbun makanan daripada nanti kelaparan.
2. Efek kelangkaan.
Kelangkaan atas produk tertentu membuat orang berasumsi bahwa produk tersebut paling penting. Artinya, mereka bersedia membayar berapapun demi mendapatkan produk langka itu. Keadaan ini memaksa seseorang membeli barang yang sebenarnya tidak diinginkan, tapi dia pikir itulah yang lebih berguna.
Hal ini dapat menjelaskan alasan mengapa banyak orang memburu yang namanya masker, hand sanitizer, atau kalau di luar negeri tisu toliet. Sampai-sampai mereka rela mencuri barang-barang tersebut dari keranjang belanja orang lain, padahal di rumah masih punya stok.
3. Perilaku yang dipengaruhi sekelompok orang.
Dr. Fenwick menjelaskan, ketika seseorang melihat tetangga atau teman-temannya menimbun barang tertentu di rumah, hal itu akan memicu dia untuk berbuat hal serupa. Padahal, belum tentu ia membutuhkan barang tersebut.
Semua hal jadi terasa tak menentu saat ini, dengan adanya isolasi sosial dan banyak negara menutup perbatasan, sehingga mendorong seseorang melakukan hal yang juga dilakukan orang lain, meski tahu itu tidak dibenarkan.
4. Kepekaan kontrol.
Dalam situasi yang tak menentu, seseorang akan merasa tenang saat merasa mampu mengatasi sesuatu. Terkait dengan fenomena panic buying, seseorang itu tentu akan merasa tenang saat bisa memborong belanjaan seperti halnya orang lain. Sebab, dengan begitu dia tahu bahwa ketika situasi semakin memburuk, ia tetap bisa memberi makan keluarganya.
"Kesimpulannya, memborong banyak barang disebabkan oleh tanda-tanda psikologi dan lingkungan yang bervariasi, yang menampik segala pemikiran rasional," kata Fenwick, seperti dikutip dari laman Insider.com.
"Saat "survival mode" menyala, orang akan membiarkan emosi mengontrol keputusannya dan rentan dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Jadi, dia akan berburu serta membeli banyak barang karena orang lain pun melakukan hal itu," pungkas Fenwick.
(tsa)